Kisah dari Kedalaman Tanah

"Luka yang dia derita akibat dikeroyok warga desa itu sudah sedemikian parahnya. Nyawa raksasa perempuan itu pun akhirnya tak tertolong.

Untuk mengenang peristiwa itu, Prabu Jayabaya memerintahkan dibuatnya patung raksasa setinggi 14 kaki, dengan mata selebar lepek (alas cangkir) dan sikap tubuh seperti gupala (patung raksasa penjaga). Patung itu didirikan di daerah yang akhirnya diberi nama ‘Gumurah’ yang berarti kekacauan."

Kisah di atas diambil dari Babad Kadhiri, sebuah naskah yang ditulis di tahun 1832. Mengisahkan masa pemerintahan Prabu Sri Aji Jayabaya, masa sekitar abad 12 M. Patung itu sendiri baru ditemukan tahun 1981, dalam keadaan terkubur di tanah hingga setinggi dada.
Terkubur segitu tingginya?

Tentu saja. Mari kita bayangkan berapa kali Gunung Kelud menyumbangkan muntahan vulkanik terhitung sejak patung itu dibuat, yakni sekitar abad 12, hingga saat ini. Berapa kali pun itu, yang jelas sanggup mengubur patung setinggi lebih dari tiga meter (belum termasuk undakan pondasinya, jika ada) itu hingga sebatas dada. Cuma butuh sekali letusan lagi untuk membuatnya terbenam sepenuhnya di bawah tanah, hingga siapapun tidak mungkin menemukannya.

Itulah peradaban kita, kawan.
Begitu banyak gunung vulkanik aktif di sekitar kita. Mereka secara rutin menumpahkan semburan lahar ke daerah sekitarnya, menyuburkan tanah sekaligus mengubur peradaban di atasnya.

Apa yang terjadi setelah peradaban terkubur?

Maka yang tersisa akan memulai lagi dari bawah. Kembali ke masa primitif. Merangkak perlahan menjadi makin modern. Lantas bencana skala besar kembali melibas seluruh populasi. Peradaban maju kedua ini pun terkubur di bawah tanah. Yang tersisa melanjutkan hidup dalam keprimitifan kembali, dan begitu seterusnya.

Bencana skala besar yang mampu menghabisi populasi makhluk hidup, dalam bahasa geologinya disebut ‘katastrofi’.

Di tanah kita ini ada dua katastrofi purba yang jadi langganan leluhur kita sejak jutaan tahun lalu. Yakni erupsi gunung vulkanik, gempa tektonik dan tsunami. Trio musibah yang sangat mudah menyapu peradaban tinggi masa lalu hingga bersih tak berbekas.

Maka sungguh tidak bijak jika mengukur peradaban nenek moyang kita hanya dari apa yang saat ini ditemukan di atas tanah. Karena dipastikan sangat banyak bekas peradaban yang masih terkubur di dalam tanah yang saat ini tengah kita pijak.

Itu adalah hal yang tidak terjadi di belahan bumi lain. Karena mereka tidak dikepung gunung berapi serapat kita, atau disambangi tsunami sesering kita.

Jika bangsa Mesir pada 2500 tahun sebelum masehi sudah mampu membangun piramid, lantas apakah saat itu leluhur kita masih merupakan bangsa primitif, hanya karena belum ditemukan situs yang berusia sama?

Sejarah yang selama ini ditulis secara linier, memang berkata seperti itu. Bangsa Nusantara dinyatakan baru punya peradaban sejak 4 abad sebelum masehi.
Andaikan mata kita mampu menembus kedalaman tanah, pastilah jawabannya lain. Atau yang masih bisa di temukan di atas bukit, mungkin?

Hasil uji lab atas bebatuan di situs Gunung padang di Cianjur Jawa Barat yang dilansir oleh Beta Lab Florida AS menunjukkan angka yang mencengangkan.Bahwa lapisan teras kedua punden purba itu berusia di atas 10.000 tahun. Takjub? Nanti dulu.

Lantas di beberapa lapisan berikutnya ditemukan strutur pasir yang diayak dengan baik, yang diperkirakan berfungsi sebagai konstruksi penahan gempa. Di situs itu juga ditemukan material logam yang menunjukkan leluhur kita masa itu telah memiliki teknologi metalurgi dengan cukup baik.

Itu baru yang ditemukan di atas bukit, saudara.

Bagaimana dengan yang masih di bawah tanah?





Malang, 19 Mei 2014
(terinspirasi dari obrolan bersama salah satu geolog terbaik dunia yang dimiliki Indonesia, DR.Ir. Andang Bachtiar, MSc )

Ditulis Aji Prasetyo

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »