Mengapa? Karena, suku bangsa yang terbanyak di Tiongkok adalah orang Han. Orang Han berasal dari kelompok masyarakat yang mendiami bagian tengah Tiongkok yang disebut suku Hua.
Daratan yang terletak di tengah daratan Tionghok disebut Tionghoa. Tiong, berarti tengah. Dan Hua, merupakan sebutan suku terbesar di Tionghok. Jadi, Tionghoa adalah negara yang letaknya di tengah.
Orang Hua menyebar ke seluruh Tiongkok. Mereka di sebut orang Han. Karena sebagian dari wilayah selatan tak begitu antusias menggunakan istilah bangsa Han. Padahal, sebutan Han di sini hanya menunjukkan etnis atau suku.
Pada Dinasti Han, penggunaan sebutan orang Tionghoa disebut Hanren dan bahasanya disebut Hanyu. Setelah Dinasti Han ambruk, istilah Han masih dipakai di seluruh dunia sampai sekarang untuk menyebut orang Tionghok.
Saat Dinasti Tan berkuasa yang wilayahnya sampai Tiongkok selatan, mulailah sebutan Hanren diganti Tangren. Dalam bahasa Mandarin disebut Tenglan. Sedangkan dalam bahasa Hokkian dan Konghu disebut Thong Yan.
Saat itu, Tiongkok cukup luas tanahnya. Negara ini terdiri dari pegunungan dan lalu lintas sangat sulit. Banyak daerah yang terisolir satu sama lain. Inilah yang menjadikan antardaerah berbeda dialeknya. Dari situ, muncullah sebutan dialek Hokkian, Hakka, Konghu (Canton), dan Tio Ciu.
Sekarang jelas, kalau Hokkian, Hakkan, Kongho, Tio Ciu, itu semua merupakan dialek dan bukan suku. orang Tionghoa yang paling banyak datang ke Indonesia adalah orang Hokkian yang menyebar di seluruh tanah air. Bahkan, penduduk Sumatera utara, terutama di Medan dan Pematang Siantar penduduk lokal (pribumi) banyak yang fasih berbahasa Hokkian, selain bahasa Batak.
Ini menunjukkan terjadinya asimilasi yang terjadi turuntemurun tanpa campur tangan politik. Begitu juga di tanah Jawa. Terutama Jawa tengah.
Orang Tionghoa di sini, selain menguasa bahasa ibunya dan bahasa Indonesia, juga pasti bisa berbahasa Jawa. Sebenarnya, penggunaan bahasa tidak usaha dilarang atau perlu diatur pemerintah. Bila dipaksakan, yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Setiap orang berhak melestarikan budaya nenek moyangnya.Contoh, kalau orang Jawa, mereka berhak mendapat fasilitas dari pemerintah untuk melaksanakan semua kebiasaan adat istiadat leluhurnya. Begitu juga dengan orang Tionghoa yang tinggal di sini. WNI Tionghoa yang tinggal di Indonesia sudah bisa disebut pribumi. Mereka juga memiliki hak yang sama. Penggunaaan dialek Hokkian, Konghu, Hakka, Tio Ciu dan lainnya, mereka hanya ingin menggunakan bahasa yang sama. Sehingga memudahkan hubungan antarorang Tionghoa, meksi dialeknya berbeda.
Di Indonesia, ada tokoh konglomerat Hokkian. Yaitu Sudono Salim (Liem Sioe Liong) yang berjasa membuat gandum Bogasari dan Indocement yang penting bagi kehidupan dan pembangunan di Indonesia. Di samping jasanya, pasti ada kekurangan dan dianggap tidak nasionalis. Karena masa tuanya dihabiskan di Singapura yang lebih menjanjikan keamanan dan kenyamanan.
Ada pepatah, Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga.Kesalahan seorang bisa berakibat rusaknya pandangan terhadap kelompok tersebut.
Semoga kerusuhan Mei 1998 tidak terulang lagi di masa mendatang. Amien. (*)
Koh Bing (R. Herianto Kurniawan MBA)
Ketua Bidang Kesenian Perhimpunan Warga Cantonese Yogyakarta/Perwacy
1 komentar:
Write komentarselamat untuk penjelasannya dan terimakasih untuk perbandingannya pendapatnya. sebenarnya Hokkien, Konghu, Tio Ciu tergolong suku. karena dari bahasa dan dialek berbeda dan tradisi imlek,cengbeng,dan sembahyang juga ada perbedaan, tak ubahnya seperti suku batak toba dan batak karo yang ada di Indonesia. makanya bisa disimpulkan ada ratusan suku dan budaya di tanah air kita ini. sekarang tinggal bagaimana cara pemerintah NKRI melestarikan budaya yang ada di tanah air kita ini. terima kasih.
ReplyEmoticonEmoticon