BELUM lama ini dua peneliti dari Program Studi Bahasa Tionghoa Universitas Kristen Petra Surabaya, Carolina AS dan Henny PS Wijaya, mengadakan penelitian tentang pelafalan bahasa Mandarin di kalangan generasi tua di Kabupaten Sidoarjo. Keduanya mengambil sampel warga Tionghoa yang berusia rata-rata di atas 70 tahun.
Menurut Carolina, para sesepuh Tionghoa ini sangat fasih membaca aksara hanzi yang dipakai dalam bahasa Mandarin. Namun, ketika mereka diminta membacakan 11 kalimat dengan suara keras, terdapat perbedaan bunyi yang cukup signifikan. "Nada-nadanya berbeda dengan bahasa Mandarin standar yang dipakai di Tiongkok," jelas Carolina. Setelah digali lebih jauh, menurut dia, pelafalan yang bervariasi ini tak lepas dari perbedaan guru bahasa Mandarin yang mengajar mereka di sekolah-sekolah Tionghoa di Sidoarjo dan Surabaya. Sekolah-sekolah yang ditutup rezim Orde Baru pada akhir 1960-an itu memang menggunakan guru asal Tiongkok.
"Tapi mereka sudah lama tinggal di Indonesia. Jadi, pelafalan mereka sudah agak berbeda dengan bahasa Mandarin standar," katanya. Nah, setelah bahasa dan tulisan Tionghoa dilarang selama 30-an tahun, bahasa Mandarin hanya dipakai di lingkungan yang sangat terbatas. Hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) juga putus, sehingga tidak ada lagi guru-guru native speaker dari negara tirai bambu itu. Meski begitu, warga Tionghoa alumni sekolah- sekolah Tionghoa di Sidoarjo itu masih menggunakan bahasa Manda- rin untuk komunikasi secara terbatas. Namun, karena setiap hari lebih banyak berbahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia, menurut Carolina, bunyi bahasa atau pelafalan para senior itu makin menyimpang dari pelafalan standar Mandarin di negara asalnya. "Orang-orang Beijing sendiri mungkin bingung mendengar orang Tionghoa di sini berbahasa Mandarin. Sebab, bunyinya berbeda," katanya. Carolina mengaku menemukan tiga macam kesalahan, yakni vokal, konsonan, dan nada. "Semua nada yang dipakai para orang tua itu mengalami penyimpangan," tutur Carolina.
Tak tanggung-tanggung, perbedaan vokal itu bahkan ada 10 macam. Sedangkan konsonan ada lima perbedaan. Banyaknya perbedaan bunyi ini jelas menjadi masalah serius bagi bahasa Mandarin karena mengubah arti kata atau kalimat. Carolina menjelaskan, bahasa Mandarin standar yang digunakan di Tiongkok dan dunia internasional menggunakan pelafalan Beijing.
Meski Tiongkok sangat luas dengan puluhan dialek lokal, pelafalan ala Beijing ini yang dianggap standar. Karena itu, pembelajaran bahasa Mandarin di Indonesia pun hendaknya menggunakan pelafalan standar tersebut. "Dan kuncinya ada di guru. Apabila guru mengajarkannya salah, murid juga akan melakukan kesalahan yang sama," ujar Caroline dalam kesimpulannya.
sumber: Radar Surabaya 20 sept 2014
EmoticonEmoticon