Metode Kursus dan Les Privat Bahasa Inggris Di Malang

Kemampuan berbahasa Inggris yang baik harus mencakup keempat keterampilan bahasa (four language skills) dan kosa kata serta tata bahasa. Untuk membantu kemampuan siswa di Malang untuk berbahasa Inggris dengan baik, maka diperlukan sebuah model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berbahasa secara utuh dan terpadu. Model pembelajaran yang demikian itu dikenal dengan model pembelajaran terpadu (integrated language skills). Yaitu pembelajaran keempat keterampilan berbahasa dan kosa kata serta bahasa yang dilakukan secara terpadu.

Teori yang digunakan dalam pengembangan model ini adalah model Dick  dan Carey (1978:5-6) yang digabung dengan model Jerrold E. Kemp, Experiential Learning Model) ini yang dikembangkan Ur, dan Model Pengembangan Strategi Instruksional yang dikembangkan oleh Suparman (1997:166-175) berdasarkan strategi instruksional yang dikembangkan oleh Gagne, Briggs, dan Wager (1979:49-54) mengatakan bahwa strategi instruksional

Hasil yang dicapai dari pengembangan model ini adalah model pembelajaran keterampilan berbahasa Inggris terpadu (integrated language) untuk peserta kursus dan les privat di Mayantara School Malang.

Pembelajaran bahasa Inggris, terutama English for Young Learners di Indonesia, telah menjadi perhatian tersendiri bagi para English educators. Oleh karena itu, diperlukan tentor dan guru yang kompeten. Tenaga pendidik harus memahami bagaimana merancang dan melaksanakan pembelajaran Bahasa Inggris yang tepat, efektif, dan menyenangkan. Hal itu sesuai dengan teori pembelajaran bahasa Inggris terkini dan juga sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.

Rujukan: http://mayantara.sch.id/kursus/bahasa-inggris

Kisah dari Kedalaman Tanah

Kisah dari Kedalaman Tanah
"Luka yang dia derita akibat dikeroyok warga desa itu sudah sedemikian parahnya. Nyawa raksasa perempuan itu pun akhirnya tak tertolong.

Untuk mengenang peristiwa itu, Prabu Jayabaya memerintahkan dibuatnya patung raksasa setinggi 14 kaki, dengan mata selebar lepek (alas cangkir) dan sikap tubuh seperti gupala (patung raksasa penjaga). Patung itu didirikan di daerah yang akhirnya diberi nama ‘Gumurah’ yang berarti kekacauan."

Kisah di atas diambil dari Babad Kadhiri, sebuah naskah yang ditulis di tahun 1832. Mengisahkan masa pemerintahan Prabu Sri Aji Jayabaya, masa sekitar abad 12 M. Patung itu sendiri baru ditemukan tahun 1981, dalam keadaan terkubur di tanah hingga setinggi dada.
Terkubur segitu tingginya?

Tentu saja. Mari kita bayangkan berapa kali Gunung Kelud menyumbangkan muntahan vulkanik terhitung sejak patung itu dibuat, yakni sekitar abad 12, hingga saat ini. Berapa kali pun itu, yang jelas sanggup mengubur patung setinggi lebih dari tiga meter (belum termasuk undakan pondasinya, jika ada) itu hingga sebatas dada. Cuma butuh sekali letusan lagi untuk membuatnya terbenam sepenuhnya di bawah tanah, hingga siapapun tidak mungkin menemukannya.

Itulah peradaban kita, kawan.
Begitu banyak gunung vulkanik aktif di sekitar kita. Mereka secara rutin menumpahkan semburan lahar ke daerah sekitarnya, menyuburkan tanah sekaligus mengubur peradaban di atasnya.

Apa yang terjadi setelah peradaban terkubur?

Maka yang tersisa akan memulai lagi dari bawah. Kembali ke masa primitif. Merangkak perlahan menjadi makin modern. Lantas bencana skala besar kembali melibas seluruh populasi. Peradaban maju kedua ini pun terkubur di bawah tanah. Yang tersisa melanjutkan hidup dalam keprimitifan kembali, dan begitu seterusnya.

Bencana skala besar yang mampu menghabisi populasi makhluk hidup, dalam bahasa geologinya disebut ‘katastrofi’.

Di tanah kita ini ada dua katastrofi purba yang jadi langganan leluhur kita sejak jutaan tahun lalu. Yakni erupsi gunung vulkanik, gempa tektonik dan tsunami. Trio musibah yang sangat mudah menyapu peradaban tinggi masa lalu hingga bersih tak berbekas.

Maka sungguh tidak bijak jika mengukur peradaban nenek moyang kita hanya dari apa yang saat ini ditemukan di atas tanah. Karena dipastikan sangat banyak bekas peradaban yang masih terkubur di dalam tanah yang saat ini tengah kita pijak.

Itu adalah hal yang tidak terjadi di belahan bumi lain. Karena mereka tidak dikepung gunung berapi serapat kita, atau disambangi tsunami sesering kita.

Jika bangsa Mesir pada 2500 tahun sebelum masehi sudah mampu membangun piramid, lantas apakah saat itu leluhur kita masih merupakan bangsa primitif, hanya karena belum ditemukan situs yang berusia sama?

Sejarah yang selama ini ditulis secara linier, memang berkata seperti itu. Bangsa Nusantara dinyatakan baru punya peradaban sejak 4 abad sebelum masehi.
Andaikan mata kita mampu menembus kedalaman tanah, pastilah jawabannya lain. Atau yang masih bisa di temukan di atas bukit, mungkin?

Hasil uji lab atas bebatuan di situs Gunung padang di Cianjur Jawa Barat yang dilansir oleh Beta Lab Florida AS menunjukkan angka yang mencengangkan.Bahwa lapisan teras kedua punden purba itu berusia di atas 10.000 tahun. Takjub? Nanti dulu.

Lantas di beberapa lapisan berikutnya ditemukan strutur pasir yang diayak dengan baik, yang diperkirakan berfungsi sebagai konstruksi penahan gempa. Di situs itu juga ditemukan material logam yang menunjukkan leluhur kita masa itu telah memiliki teknologi metalurgi dengan cukup baik.

Itu baru yang ditemukan di atas bukit, saudara.

Bagaimana dengan yang masih di bawah tanah?





Malang, 19 Mei 2014
(terinspirasi dari obrolan bersama salah satu geolog terbaik dunia yang dimiliki Indonesia, DR.Ir. Andang Bachtiar, MSc )

Ditulis Aji Prasetyo

Natto dan Umeboshi, Makanan Khas Jepang yang Tidak Enak tapi Banyak Digemari

Natto dan Umeboshi, Makanan Khas Jepang yang Tidak Enak tapi Banyak Digemari
Natto dan Umeboshi, mewakili dua hal pertama di Jepang yang paling saya hindari. Natto( 納豆), kedelai yg difermentasi dengan Bacillus subtillis, menurut ku adalah makanan yang tidak jelas kenapa masih dimakan..!!
Bukan hanya dimakan, tapi juga digemari. Aromanya tidak menggoda, rasanya juga berada di level biasa ke bawah. Sudah begitu, teksturnya yang licin berbalut lendir cukup membuat si pemakan harusnya merasa geli...kan?!
Memang, Natto ini kaya akan protein dan probiotika yg diperlukan tubuh. Oleh karenanya pula lah Natto menjadi makanan idola di jaman Jepang feodal. Tapi kini?! Dengan begitu banyak varian makanan yg lezat sekaligus kaya gizi, protein, probiotik maupun apapun yang diperlukan tubuh, kenapa masyarakat Jepang, yang anak2, tua, muda, masih menggemarinya?

Begitu juga tidak masuk akalnya bagiku bagaimana orang2 disini masih melahap umeboshi. 梅干しadalah asinan kering yg dibuat dari buah ume ( Prunus mume).
Rasanya asam dan asin. Bikin meringis dan air ludah mengucur deras ketika menggigitnya.
Mereka biasa meletakkannya di tengah2 nasi hangat yang mengepul. Seperti itu, maka akan terlihat miriplah dengan bendera Jepang.
Ketika aku tanya, mengapa mereka menyiksa diri memakan benda semacam itu ditengah pilihan lain yang menggiurkan? Mereka bilang, umeboshi bisa membuat mereka semangat melahap nasi! Jelaslah, karena mereka ingin segera menghilangkan rasa asam asin itu tentunya

Tapi, adalah ketika kulihat anak-anak dari sebuah keluarga sahabat yang aku kunjungi tidak mau sarapan selain dengan Natto. Adalah ketika seorang anak campuran Jepang Australia yang menyisihkan segala daging dan ikan di kotak bento dan memilih untuk menikmati makan siangnya dengan nasi dan umeboshi, antipati saya berubah menjadi pertanyaan yang menuntut jawaban, dariku sendiri.

Maka sejak itu, aku beli, aq rasai, aq akrabi, aq nikmati..
Dan sekarang, bukan hanya terbiasa, aq juga menyukainya.

Natto dan Umeboshi, hidangan sarat manfaat yang tidak mainstream, disitulah istimewanya. Kesehatan, lahir dan batin, kita yang menentukan. Nutrisi jiwa, dari yang sedap maupun yang bikin hati kita senap, asal baik dan bermanfaat, tidak apa kita coba suka dan terima, lama2..cinta juga 



Kurnia Ati'ullah

Sekolah yang tak punya lagu itu aneh!

Sekolah yang tak punya lagu itu aneh!
School song atau disini disebut dengan 'Kouka ( 校歌)', adalah lagu almamater yang dimiliki masing masing sekolah. Jadi, 'masing-masing' sekolah dari semua level mempunyai school song masing2.

Ketika di satu kesempatan berlatih percakapan bahasa Jepang, kami diminta untuk membuat kalimat "Di SD dulu pak/bu guru menyuruh kami menyanyikan lagu almamater". Saya bertanya, "apa yang dimaksud dengan lagu almamater?" Karena, sepanjang sekolah dulu, saya tidak pernah tahu yang namanya lagu almamater sekolah saya, apalagi diminta untuk menyanyi. 


Selanjutnya saya balik di tanya, "tidak adakah lagu almamater di sekolahmu dulu?", yang aku jawab dengan, "tidak ada". 
Setahuku, di sekolah2 lain di negaraku juga tidak ada. Di tingkat Universitas mungkin ada (lupa2 ingat, hiks), tapi di tingkat bawahnya sepertinya tidak ada.

Seisi kelas pun terkejut, karena menurut mereka aneh. Di masing2 negara lainnya, mereka punya school song untuk sekolahnya. Lagu itu akan berisi lirik2 pemompa semangat, motivasi memiliki visi masa depan dan kebanggaan pribadi dan sekolah mereka..katanya.

Kening sedikit mengkerut penuh heran. Ini saya yang kurang pengetahuan ataukah memang benar kita tidak punya school song di sekolah masing2 yang akan selalu di rapal di kesempatan2 tertentu?



Kurnia Ati'ullah

Kotatsu, meja dengan 'tungku' penghangat kaki

Kotatsu adalah meja yang bisa ditutupi dengan kain tebal, selimut, bahkan kasur tipis Jepang (futon).
Fungsi penutup itu adalah untuk menahan panas yg keluar dari alat yg tertempel di bawah tutup meja. Alat itu terhubung dengan saklar listrik yangg akan menyala ketika dihidupkan. Seperti yg saya punya .

Dulu, hawa panas nya dihasilkan dari arang yang di bakar di lubang di bawah meja. Sampai kini, masih ada juga sih, rumah yang mempunyai sistem pemanas seperti itu. Kelebihannya, tentu saja lebih hemat listrik dan kaki pun gak harus ditekuk. 



Kotatsu ini dulunya berasal dari budaya masak di ruang keluarga bukan di dapur yang disebut dg istilah irori (tungku masak), yang sekaligus berfungsi sebagai arena kumpul2 dan duduk2...( inget film Oshin, ohhh!!). Berjalannya waktu, kedua fungsi menjadi terpisah, dan diletakkanlah kain tebal dimeja sebagai penghangat kaki.

Tak heran, di awal2, Kotatsu berjulukkan Hori Gotatsu. Hori ( api), ko (digging), tatsu (penghangat kaki), karena memang mereka menggali tanah untuk meletakkan arang. Baru setelah tatami (tikar Jepang) banyak digunakan, mereka tak lagi menggali lantai. Cukup dengan meja Kotatsu yang portable tp masih bersumber panas dari arang yg di bakar di dalam periuk tanah yg mereka sebut dengan Oki-gotatsu. Awal abad dua puluhlah baru kemudian meja kotatsu berpemanas listrik di buat, dan disebut dengan Kotatsu saja.

Mengingat daerah tempat tinggal saya berada di lereng gunung yg seringkali hawa dinginnya cukup membuat badan menggigil. Ingiiiin rasanya bawa meja Kotatsu ini pulang. Secara, gak beli juga..
Tapiii, bisa gak sih di pakai di Indonesia? Mengingat beda voltase listriknya? 

Anybody knows? 


Kurnia Ati'ullah