Gempa Bumi dan tsunami hebat yang menimpa Jepang pada 11 Maret 2011 menimbulkan kerusakan besar di Kota Tohoku, Jepang. Selain dihadapkan masalah reruntuhan bangunan, korban bencana membutuhkan tempat evakuasi yang layak tinggal. Para arsitek di Jepang pun tanggap dengan membuat rancangan tempat tinggal yang sesuai dengan pemulihan pascabencana.
SEBANYAK 52 bangunan karya para arsitektur Jepang dipamerkan di Ruang SF 101- 1002 Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS, kemarin (27/ 1). Mengusung konsep How Did Architects Respons Immediately 3/11?, Konsulat Jenderal (Konjen) Jepang menampilkan proyek arsitek Jepang dalam masa pemulihan bencana dengan berbagai penjelasan. Mulai gambar video, model, hingga furnitur yang digunakan dalam evakuasi bencana.
"Di Jepang kami terbiasa mengatasi bencana dalam hitungan detik. Tidak perlu lama," kata Konjen Jepang Nobura Nomura di sela-sela pembukaan pameran kemarin. Konsep yang disampaikan Nobura memang benar. Dengan memanfaatkan sarana yang ada, pemerintah Jepang langsung membuat tempat evakuasi dadakan yang praktis, aman, dan nyaman.
Menurut Nobura, pembuatan rumah kardus sangat cepat. Hanya dibutuhkan keahlian origami. Dari segi keamanan, berat kardus yang ringan tidak akan membahayakan nyawa seseorang, apalagi jika gempa atau bencana kembali datang. "Kalau tinggal di rumah kardus, kan privasi orang tetap terjaga. Kalau digelar di tempat terbuka, kasihan," ungkap alumnus Universitas Indonesia tersebut.
Selain rumah kardus, dalam menghadapi bencana para arsitektur Jepang membuat truk besar yang bagian dalamnya mirip rumah. Saat ada gempa dan bencana, truk tersebut langsung bisa menutup rapat dengan kecepatan 260 detik. "Massa truk juga berat. Jadi, kalau terombang-ambing ombak dan angin, truk tetap akan stand by di tempat," paparnya.
Nobura berharap, pameran arsitektur yang digelar kali pertama di Indonesia tersebut menginspirasi para arsitektur muda Indonesia dalam menghadapi bencana. Apalagi, Indonesia juga berada di kawasan rawan bencana. Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS Hidayat Sugiharto menerangkan bahwa selama ini memang para arsitektur di Indonesia belum mengembangkan tempat tinggal darurat jika terjadi bencana. Sebab, pemerintah Indonesia masih memanfaatkan tendatenda besar, stadion, dan gedung besar sebagai tempat tinggal darurat. (*/c1/hen)
Umi Hany Akasah - Wartawan Radar Surabaya
RUMAH TINGGAL SEMENTARA: Konsulat Jepang Noboru Nomura melihat rumah kardus karya arsitek Negeri Sakura yang dipamerkan di Gedung Arsitektur ITS kemarin (27/1). |
SEBANYAK 52 bangunan karya para arsitektur Jepang dipamerkan di Ruang SF 101- 1002 Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS, kemarin (27/ 1). Mengusung konsep How Did Architects Respons Immediately 3/11?, Konsulat Jenderal (Konjen) Jepang menampilkan proyek arsitek Jepang dalam masa pemulihan bencana dengan berbagai penjelasan. Mulai gambar video, model, hingga furnitur yang digunakan dalam evakuasi bencana.
"Di Jepang kami terbiasa mengatasi bencana dalam hitungan detik. Tidak perlu lama," kata Konjen Jepang Nobura Nomura di sela-sela pembukaan pameran kemarin. Konsep yang disampaikan Nobura memang benar. Dengan memanfaatkan sarana yang ada, pemerintah Jepang langsung membuat tempat evakuasi dadakan yang praktis, aman, dan nyaman.
Menurut Nobura, pembuatan rumah kardus sangat cepat. Hanya dibutuhkan keahlian origami. Dari segi keamanan, berat kardus yang ringan tidak akan membahayakan nyawa seseorang, apalagi jika gempa atau bencana kembali datang. "Kalau tinggal di rumah kardus, kan privasi orang tetap terjaga. Kalau digelar di tempat terbuka, kasihan," ungkap alumnus Universitas Indonesia tersebut.
Selain rumah kardus, dalam menghadapi bencana para arsitektur Jepang membuat truk besar yang bagian dalamnya mirip rumah. Saat ada gempa dan bencana, truk tersebut langsung bisa menutup rapat dengan kecepatan 260 detik. "Massa truk juga berat. Jadi, kalau terombang-ambing ombak dan angin, truk tetap akan stand by di tempat," paparnya.
Nobura berharap, pameran arsitektur yang digelar kali pertama di Indonesia tersebut menginspirasi para arsitektur muda Indonesia dalam menghadapi bencana. Apalagi, Indonesia juga berada di kawasan rawan bencana. Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS Hidayat Sugiharto menerangkan bahwa selama ini memang para arsitektur di Indonesia belum mengembangkan tempat tinggal darurat jika terjadi bencana. Sebab, pemerintah Indonesia masih memanfaatkan tendatenda besar, stadion, dan gedung besar sebagai tempat tinggal darurat. (*/c1/hen)
Umi Hany Akasah - Wartawan Radar Surabaya